Senin, 04 Januari 2010

PELESTARIAN LINGKUNGAN

Pelestarian Lingkungan Hidup menurut Islam
Islam adalah Diin yang Syaamil (Integral), Kaamil (Sempurna) dan Mutakaamil (Menyempurnakan semua sistem yang lain), karena ia adalah sistem hidup yang diturunkan oleh Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, hal ini didasarkan pada firman ALLAH SWT : "Pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan AKU cukupkan atasmu nikmatku, dan Aku ridhai Islam sebagai aturan hidupmu." (QS. 5 : 3). Oleh karena itu aturan Islam haruslah mencakup semua sisi yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya. Demikian tinggi, indah dan terperinci aturan Sang Maha Rahman dan Rahim ini, sehingga bukan hanya mencakup aturan bagi sesama manusia saja, melainkan juga terhadap alam dan lingkungan hidupnya.
Pelestarian alam dan lingkungan hidup ini tak terlepas dari peran manusia, sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana yang disebut dalam QS Al-Baqarah: 30 (“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”…). Arti khalifah di sini adalah: “seseorang yang diberi kedudukan oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan masyarakatnya harmonis, dan agama, akal dan budayanya terpelihara”. Di samping itu, Surat Ar-Rahman, khususnya ayat 1-12, adalah ayat yang luar biasa indah untuk menggambarkan penciptaan alam semesta dan tugas manusia sebagai khalifah.
 Ayat ini ditafsirkan secara lebih spesifik oleh Sayyed Hossein Nasr, dosen studi Islam di George Washington University, Amerika Serikat. dalam dua bukunya “Man and Nature (1990)” dan “Religion and the Environmental Crisis (1993)”, yang disajikan sebagai berikut:
“……Man therefore occupies a particular position in this world. He is at the axis and centre of the cosmic milieu at once the master and custodian of nature. By being taught the names of all things he gains domination over them, but he is given this power only because he is the vicegerent (khalifah.) of God on earth and the instrument of His Will. Man is given the right to dominate over nature only by virtue of his theomorphic make up, not as a rebel against heaven.” Jelaslah bahwa tugas manusia, terutama muslim/muslimah di muka bumi ini adalah sebagai khalifah (pemimpin) dan sebagai wakil Allah dalam memelihara bumi (mengelola lingkungan hidup).
 Allah telah memberikan tuntunan dalam Al-Quran tentang lingkungan hidup. Karena waktu perenungan, hanya beberapa dalil saja yang diulas sebagai landasan untuk merumuskan teori tentang lingkungan hidup menurut ajaran Islam.
Dua dalil pertama pembuka diskusi ini bersumber pada Surat Al An’aam 101 dan Al Baqarah 30.

Dalil pertama adalah: “Allah pencipta langit dan bumi (alam semesta) dan hanya Dialah sumber pengetahuannya”. Lalu dalil kedua menyatakan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Perlu dijelaskan bahwa menjadi khalifah di muka bumi itu bukan sesuatu yang otomatis didapat ketika manusia lahir ke bumi. Manusia harus membuktikan dulu kapasitasnya sebelum dianggap layak untuk menjadi khafilah.
Seperti halnya dalil pertama, dalil ke tiga ini menyangkut tauhid. Hope dan Young (1994) berpendapat bahwa tauhid adalah salah satu kunci untuk memahami masalah lingkungan hidup. Tauhid adalah pengakuan kepada ke-esa-an Allah serta pengakuan bahwa Dia-lah pencipta alam semesta ini. Perhatikan firman Allah dalam Surat Al An’aam 79:
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”
 Dalil ke empat adalah mengenai keteraturan sebagai kerangka penciptaan alam semesta seperti firman Allah dalam Surat Al An’aam, dengan arti sebagai berikut, “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang..”
Adapun dalil ke lima dapat ditemukan dalam Surat Hud 7 yang menjelaskan maksud dari penciptaan alam semesta, “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,….Dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya.”

Itulah salah satu tujuan penciptaan lingkungan hidup yaitu agar manusia dapat berusaha dan beramal sehingga tampak diantara mereka siapa yang taat dan patuh kepada Allah.
Dalil ke enam adalah kewajiban bagi manusia untuk selalu tunduk kepada Allah sebagai maha pemelihara alam semesta ini. Perintah ini jelas tertulis dalam Surat Al An’aam 102 yaitu, “..Dialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu”
Dalil ke tujuh adalah penjabaran lanjut dari dalil kedua yang mewajibkan manusia untuk melestarikan lingkungan hidup. Adapun rujukan dari dalil ini adalah Surat Al A’raaf 56 diterjemahkan sebagai berikut;
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepadaNya……..” Selanjutnya dalil ke delapan mengurai tugas lebih rinci untuk manusia, yaitu menjaga keseimbangan lingkungan hidup, seperti yang difirmankanNya dalam surat Al Hijr 19, ”Dan kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.”
Dalil ke sembilan menunjukkan bahwa proses perubahan diciptakan untuk memelihara keberlanjutan (sustainability) bumi. Proses ini dikenal dalam literatur barat sebagai: siklus Hidrologi.
Dalil ini bersumber dari beberapa firman Allah seperti Surat Ar Ruum 48, Surat An Nuur 43, Surat Al A’raaf 57, Surat An Nabaa’ 14-16, Surat Al Waaqi’ah 68-70, dan beberapa Surat/Ayat lainnya. Penjelasan mengenai siklus hidrologi dalam berbagai firman Allah merupakan pertanda bahwa manusia wajib mempelajarinya. Perhatikan isi Surat Ar Ruum: 48 dengan uraian siklus hidrologi berikut ini. Hujan seharusnya membawa kegembiraaan karena menyuburkan tanah dan merupakan sumber kehidupan.
Surat Ar Ruum 48 Siklus hidrologi
Mencakup proses evaporasi, kondensasi, hujan, dan aliran air ke sungai/danau/laut, Al-Qur’an dengan sangat jelas menjabarkannya. Evaporasi, adalah naiknya uap air ke udara. Molekul air tersebut kemudian mengalami pendinginan yang disebut dengan kondensasi. Kemudian terjadi peningkatan suhu udara, yang menciptakan hujan. Air hujan tersebut menyuburkan bumi dan kemudian kembali ke badan air (sungai, danau atau laut.
Ini dengan jelas digambarkan dalam Al-Qur’an surat ar-Ruum:48 yang berbunyi;“Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendakiNya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hambahamba-Nya yang dikehendakinya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.”
Sebagai khalifah, sudah tentu manusia harus bersih jasmani dan rohaninya. Inilah inti dari dalil ke sepuluh bahwa kebersihan jasmani merupakan bagian integral dari kebersihan rohani.
Merujuk pada Surat Al-Baqarah 222; “….sesungguhnya Allah senang kepada orang yang bertobat, dan senang kepada orang yang membersihkan diri.” Serta Surat Al-Muddatstsir 4-5; “..dan bersihkan pakaianmu serta tinggalkan segala perbuatan dosa.”
Meski slogan yang dikenal umum seperti “kebersihan adalah sebagian dari iman”, banyak diakui sebagai hadis dhaif, namun demikian, Rasulluah S.A.W. bersabda bahwa iman terdiri dari 70 tingkatan: yang tertinggi adalah pernyataan “tiada Tuhan selain Allah” dan yang terendah adalah menjaga kerbersihan. Jadi, memelihara lingkungan hidup adalah menjadi bagian integral dari tingkat keimanan seseorang. Khususnya beragama Islam.
Mengutip disertasi Abdillah (2001), Surat Luqman ayat 20 Allah berfirman, “Tidakkah kau cermati bahwa Allah telah menjadikan sumber daya alam dan lingkungan sebagai daya dukung lingkungan bagi kehidupanmu secara optimum. Entah demikian, masih saja ada sebagian manusia yang mempertanyakan kekuasaan Allah secara sembrono. Yakni mempertanyakan tanpa alasan ilmiah, landasan etik dan referensi memadai.”
Selain itu, Abdillah juga mengutip bahwa manusia harus mempunyai ketajaman nalar, sebagai prasyarat untuk mampu memelihara lingkungan hidup. Hal ini bisa dilihat Surat Al Jaatsiyah 13 sebagai berikut; “Dan Allah telah menjadikan sumber daya alam dan lingkungan sebagai daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Yang demikian hanya ditangkap oleh orang-orang yang memiliki daya nalar memadai.”

Dalil-dalil di atas adalah pondasi dari teori pengelolaan lingkungan hidup yang dikenal dengan nama “Teorema Alim” yang dirumuskan sebagai berikut:Misi manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah memelihara lingkungan hidup, dilandasi dengan visi bahwa manusia harus lebih mendekatkan diri pada Allah. Perangkat utama dari misi ini adalah kelembagaan, penelitian, dan keahlian. Adapun tolok ukur pencapaian misi ini adalah mutu lingkungan. Berdasarkan “Teorema Alim” ini, kerusakan lingkungkan adalah cerminan dari turunnya kadar keimanan manusia.
Rasulullah S.A.W. dan para sahabat telah memberikan teladan pengelolaan lingkungan hidup yang mengacu kepada tauhid dan keimanan. Seperti yang dilaporkan Sir Thomas Arnold (1931) bahwa Islam mengutamakan kebersihan sebagai standar lingkungan hidup. Standar inilah yang mempengaruhi pembangunan kota Cordoba. Menjadikan kota ini memiliki tingkat peradaban tertinggi di Eropa pada masa itu. Kota dengan 70 perpustakaan yang berisi ratusan ribu koleksi buku, 900 tempat pemandian umum, serta pusatnya segala macam profesi tercanggih pada masa itu. Kebersihan dan keindahan kota tersebut menjadi standar pembangunan kota lain di Eropa.
Contoh lain adalah inovasi rumah sakit dan manajemennya (Arnold, 1931). Pada masa itu manajemen rumah sakit sudah sedemikian canggihnya sebagai pusat perawatan dan juga pusat pendidikan calon-calon dokter. Rumah sakit tersebut sudah memiliki ahli bedah, ahli mata, dokter umum, perawat, dan administrator. Tercatat 34 rumah sakit yang tersebar dari Persia ke Maroko serta dari Siria Utara sampai ke Mesir. Rumah sakit pertama yang berdiri di Kairo pada tahun 872 Masehi, bahkan beroperasi selama 700 tahun kemudian. Inovasi bidang kesehatan ini bahkan berkembang sampai pada penemuan ambulan atau menurut Arnold (1931) sebagai “traveling hospital”.
 Teorema Alim ini mengandung dua unsur yaitu misi dan tolok ukur. Misi dapat diemban apabila diiringi visi mendekatkan diri pada Allah dan dibekali ketajaman nalar, yaitu kelembagaan, keahlian, dan kegiatan. Tolok ukur yang jelas adalah mutu lingkungan hidup di Indonesia sebagai rambu-rambu untuk menilai keberhasilan pelaksanaan misi manusia yaitu mencegah bumi dari kerusakan lingkungan.
 Dapat dikatakan Indonesia telah memiliki perangkat yang cukup untuk mencapai misi yaitu kelembagaan dalam bidang lingkungan hidup (Menteri Negara Lingkungan Hidup, Pusat Studi Lingkungan Hidup, dan lainnya), tak terbilang jumlah doktor yang mendalami ilmu lingkungan, serta intensitas yang tinggi dalam penelitian lingkungan. Namun simaklah sekali lagi berbagai persoalan lingkungan hidup di Indonesia berikut ini. Menatap langit di sepanjang jalan Sudirman, seorang awam sudah tahu bahwa udara Jakarta memang beracun. Penyakitpun datang silih berganti, dan kali ini penyakit mematikan seperti HIV, SAR, demam berdarah, dan flu burung berjangkit di mana-mana.
Terlebih lagi air sungai sungguh sangat kotor karena pembuangan sampah padat. Sungai Ciliwung, misalnya, setiap hari menampung 1,400 M3 sampah (Kompas, 1996). Hal ini berarti bahwa kurang lebih 200-400 truk membuang sampah padat ke sungai tersebut setiap harinya! Pelayanan air minum juga sangat rendah. Alim (2005) melaporkan bahwa baru sekitar 40 persen penduduk mendapat pelayanan air bersih, dan dari total volume air yang disalurkan hanya 20% yang layak digunakan karena umumnya air yang sampai ke rumah masih berlumpur.
 Hal ini diperburuk oleh kondisi pemerintahan di Indonesia karena aparat yang ingkar amanah. Salah satu contoh kebohongan pemerintah adalah kasus kebakaran hutan. Soentoro (1997) melaporkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 telah menghanguskan 1 juta hektar hutan, nyatanya pemerintah melaporkan 300,000 hektar saja. Masalah tidak transparannya birokrasi sudah lama mengganjal jalannya roda pemerintahan.
Sudah jelas bahwa ketajaman nalar yang tidak diiringi oleh kadar keimanan tinggi serta jauhnya umat Islam dari Allah, telah menciptakan masalah lingkungan hidup.
 Menyadari runyamnya masalah lingkungan hidup, langkah pertama pemecahannya adalah peningkatan “ukhuwah” (kerjasama) antar ilmuwan dan alim-ulama agar bahu-membahu mampu mengemban amanat Allah untuk memelihara bumi. Salah satu hasil kerjasama tersebut adalah program pelatihan bagi para tokoh agama untuk memperdalam wawasan lingkungan hidup. Solusi jangka pendek lainnya adalah penyusunan program pemeliharaan lingkungan sebagai materi khutbah jumat, serta penerbitan fatwa untuk menghentikan pencemaran sungai.

Untuk jangka panjang perlu digarap sektor pendidikan dimana perlu dikembangkan bidang ilmu ataupun kurikulum yang menjadian ilmu pelestarian lingkungan hidup adalah bagian integral dari kajian ajaran Islam. Pengembangan disiplin ini juga perlu mempertimbangkan ukhuwah yang bersifat internasional, karena persoalan lingkungan hidup juga telah membebani negara muslim lainnya. Dengan pendidikan akan tumbuh kesadaran bahwa lingkungan hidup bukan bidang yang menjadi monopoli peradaban barat, tetapi merupakan bagian integral dari keimanan.Salah satu contoh pendekatan pelestarian lingkungan melalui Al-Qur’an dan Al-Hadits yang berhasil adalah di Tanzania. Bekerjasama dengan CARE-organisasi bantuan untuk memberantas kemiskinan di dunia-IFEES menggelar pertemuan dengan para pemuka agama dan para nelayan untuk mendiskusikan bagaimana hubungan antara ayat-ayat yang ada dalam al-Quran dengan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan ayat-ayat al-Quran serta hadist, mereka berusaha meyakinkan para nelayan untuk tidak lagi menggunakan dinamit, jala dan tombak ketika menangkap ikan.IFEES juga bekerjasama dengan Misali Island Conservation (MICA)-lembaga yang bergerak dalam perlindungan terumbu karang-untuk melatih para imam-imam masjid di Tanzania agar mampu menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan lewat khutbah-khutbah Jumat mereka. IFEES yang berbasis di Inggris, adalah salah satu organisasi yang pada tahun 1998 meluncurkan proyek penyadaran kelestarian lingkungan dengan menggunakan basis ajaran Islam. "Kami mencari ajaran-ajaran yang sudah terlupakan itu dan mengumpulkannya kembali dalam bentuk yang modern, " kata Khalid."Saya sekarang tahu bahwa cara saya menangkap ikan selama ini sudah merusak lingkungan. Konservasi ini bukan dari mzungu (kata untuk menyebut orang kulit putih dalam bahasa Swahili, yang digunakan di seluruh Afrika Timur-red), tapi dari al-Quran, " ujar Salim Haji, seorang nelayan di sebuah pulau kecil. Proyek ini membuahkan hasil setahun setelah diluncurkan, terutama di Misali dan kepulauan Zanzibar yang didominasi warga Muslim. Saat ini, banyak nelayan di Misali yang sudah mengganti alat penangkap ikannya dengan alat yang lebih ramah lingkungan dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Kreativitas, adalah salah satu kata menuju pelestarian dan pengembangan seni budaya tradisional dikemas dalam berbagai bentuk hiburan. Selain masyarakat lokal, tentunya pemerintah dan pemerhati seni budaya adalah pihak yang berkepentingan dalam eksplorasi seni budaya, yang berkaitan dengan kebanggaan kita sebagai bangsa terutama dalam rasa kebangsaan di implementasikan dengan wujud perayaan.
Hal inilah yang tergambar pada saat Teater Tertutup yang diadakan di Taman budaya Dago Tea House pada tanggal 27 desember 2008 yang mempertontonkan berbagai pertunjukan yang sangat menarik dan berguna, khususnya bagi kalangan muda yang sekarang ini kurang mengerti dan kurang mempraktekkan tentang kreatifitas yang bernilai tinggi tanpa harus mengeluarkan biaya yang mahal, dan tanpa membebani orang tua.

Pada acara teater terbuka ini, begitu sangat mengesankan dan menggugah perasaan bagi orang-orang yang meluangkan waktunya sejenak untuk menyaksikannya. Semua terasa menyenangkan, karna kita tidak dibuatnya merasa sedikit bosan. Semua Penonton dibuatnya terlena dan tetap duduk dan menyaksikan acara ini sampai akhir acara.
Di awal acara kita telah disuguhi musik yang sangat berkreasi dengan alat-alat musik yang sangat tradisional dan sederhana oleh grup 100%, Oseng Percussion dan Ferry Kurtis. Band-band ini sangat berbeda dengan band-band yang ada di Indonesia sekarang ini, yang hanya mengandalkan alat musik modern yang harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal. Dengan alat-alat yang demikian tradisional dan murah nada-nada yang dikeluarkan tidak kalah saing, bahkan lebih bernilai asli oleh suara-suara yang sangat unik. Karena alat-alat yang dipergunakan di ambil dari benda-benda yang tidak dipakai, (di dalam masyarakat sudah dianggap sampah) dicampur dengan alat musik tradisional tadi.
Setelah mempertunjukkan beberapa pertunjukan musik dari kreatifitas yang tinggi tersebut. Akhirnya sampailah kepada puncak acara yaitu pertunjukan drama yang berjudul “AIR” karya Iman Soleh. Yang diperankan budak-budak tim 12. Dengan karakter-karakter dan watak dan tokoh yang mereka bawakan sangat sempurna, mengingat mereka masih muda, namun itu tak terlihat, mereka telah menjadi figur dan memiliki watak tokoh yang mereka perankan masing-masing.
Begitu kuatnya perjuangan mereka untuk mendapatkan air, sampai nyawa mereka taruhkan demi setetes saja. Tanpa merasa lelah, tanah-tanah mereka gali dengan semua daya yang mereka punya. Walau mereka tahu usaha yang mereka lakukan sesuatu yang sia-sia, karna pada saat itu adalah musim kemarau yang telah berkepanjangan. Begitu besar perjuangan itu, demi setetes air untuk melumasi tenggorokan mereka yang telah lama kering kerontang.
Jika kita mengikuti pertunjukan drama ini, Iman Soleh benar-benar menunjukkan kepada kita bahwa air adalah kehidupan yang harus dijaga kemurniannya, supaya kita bisa tetap hidup, karna tanpa air semua mahluk akan binasa. Itulah yang di lukiskan Iman Soleh dalam karyanya yang berjudul air. Drama Ini sangat cocok dengan tema acara ini yaitu tentang pelestarian lingkungan, karna kita sendiri telah ketahui bahwa air di daerah kota Bandung sendiri telah kotor dan tidak sehat lagi untuk di konsumsi oleh masyarakat.
Maksud isi drama ini sebenarnya sangat tajam, menusuk prilaku kita yang tidak pernah perduli atau memikirkan kondisi lingkungan, fenomena ini dapat kita lihat di kota Bandung. Di sungai-sungi kita selalu disuguhkan dengan pemandangan yang sangat menyedihkan. Kita tidak lagi melihat sungai sebagai suatu yang indah atau suatu pemandangan. Sampah-sampah berserakan, sehingga membuat air keruh bahkan sampai terkontaminasi dengan zat-zat kimia yang terkandung didalam sampah itu. Tidak jarang akibat ulah kita sendiri menimbulkan banjir yang sangat merugikan, bahakan sampai merenggut nyawa.
Dari kegiatan yang sangat bersifat kompetitif, edukatif, hiburan ini, akan memberikan suatu tambahan wahana baru bagi pengembangan imajinasi kreatif, yang sekarang ini telah menipis dikalangan muda itu sendiri, namun setelah diadakan acara ini, akhirnya akan membuka pintu bagi terbentuknya masyarakat kreatif yang tangguh, mandiri, memiliki rasa percaya diri, serta terutama semakin merasa memiliki akan seni budaya sendiri. Ditambah lagi untuk menggugah hati kita untuk perduli dengan lingkungan, karna kita hidup berdampingan dengannya.
Pelepasan metana yang cepat ke dalam atmosfer Bumi 635 juta tahun yang lalu menyebabkan cepatnya pemanasan dan kepunahan spesies besar-besaran, merusak iklim lebih dari 100.000 tahun, dan dapat terjadi lagi dalam waktu dekat, dilaporkan di Nature. (1)
Yang menjadi kekuatiran adalah hanya dibutuhkan kenaikan suhu udara yang relatif kecil untuk memulai pelepasan gas, yang lalu akan memicu siklus pemanasan yang tak dapat dihentikan.(2)
Bukti pertama bahwa berjuta-juta ton metana yang 20 kali lebih kuat daripada karbon dioksida tengah dilepaskan ke dalam atmosfer dari dasar laut Arktik telah ditemukan oleh para ilmuwan pada bulan September 2008 menurut The Independent.(3) Industri peternakan merupakan penghasil nomor satu metana yang merupakan gas rumah kaca yang paling kuat. PBB melaporkan bahwa produksi daging menghasilkan 37 persen gas metana dunia.(4)Kita harus menyelamatkan planet ini agar kita dapat tinggal, pertama-tama. Karena bila semua es mencair, bila semua es kutub mencair semua, lalu bila laut panas, maka gas mungkin terlepas dari laut, dan kita semua mungkin keracunan. Itu gas yang banyak.
Kalau Anda melihat ceramah Singapura, saya telah memperingatkan bahwa kita harus mengubah cara kita hidup, kalau tidak, sangat terlambat. Itu 10 atau 15 tahun yang lalu. Atau sebelumnya, saya selalu berbicara tentang bagaimana kita membabat hutan di planet kita, yah? Makan daging dan semuanya menyumbang banyak kerusakan pada planet Bumi kita, Anda tahu.Para ilmuwan berbicara banyak hal. Mereka sekarang mendengarkan, tetapi saya benar-benar berharap mereka melakukannya dengan cepat. Hanya perlu bertindak. Semua pemerintah di seluruh dunia sungguh-sungguh menganggapnya serius sekarang. Hanya saja saya kuatir tindakannya bisa jadi terlalu lambat, itu saja.
Karena es memantulkan matahari, Anda mengerti, sehingga mengirimkannya kembali ke luar angkasa, tetapi es sekarang mencair sangat cepat, sehingga tidak ada cukup pemantulan dan karena laut sudah panas, ia mencairkan es. Dan karena es mencair, laut bertambah panas. Anda mengerti apa yang saya maksud, siklusnya?
Dengan cara seeprti ini, bila mereka tidak memperbaikinya, 4 atau 5 tahun, habis sudah. Tidak ada lagi. Ini sungguh mendesak.
Kerusakan lingkungan semakin hari semakin parah. Kalau didiamkan, berarti kita merelakan kerusakan itu tanpa bisa berbuat apapun untuk menghentikannya. Sebab, lingkungan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia itu sendiri, baik masa sekarang maupun masa yang akan datang. Bila lingkungan mengalami kerusakan, boleh jadi generasi manusia sekarang masih bisa bertahan hidup. Namun bayangkan, bagaimana nasib anak cucu masa mendatang? Semua makhluk hidup di planet bumi ini sangat bergantung pada lingkungannya, tidak terkecuali manusia. Hubungan simbiosis (saling ketergantungan) antara manusia dengan lingkungan di sekitarnya sangat menentukan kesinambungan antar keduanya. Dengan kata lain, kelangsungan hidup (manusia dan alam) sangat tergantung ada sikap dan perilaku manusia sebagai Khalifah fil Ardh (subjek atau pengelola) bumi. Walaupun sebagai subjek terhadap alam, manusia tidak serta merta dapat memperlakukan alam sekehendaknya. Alam dengan lingkugannya akan melakukan reaksi (perlawanan) terhadap manusia yang mengakibatkan kepunahan umat manusia di bumi. Peran manusia sebagai subjek atas alam tidak mengurangi keharusan manusia dalam kebergantungannya pada lingkungan. Ini artinya, melestarikan lingkungan sama nilainya dengan memelihara kelangsungan hidup manusia dan segala yang eksis di alam. Sebaliknya, merusak lingkungan hidup, dengan bentuk apapun, merupakan bumerang yang serius bagi kelangsungan kehidupan di alam dengan segala isinya ini, termasuk manusia.
Dalam konteks Aceh, cagar alam yang harus dijaga kesinambungannya adalah Taman Nasional Gunung Leuser atau biasa disingkat TNGL. TNGL adalah sebuah kawasan cagar alam berstatus taman nasional yang terletak di perbatasan Provinsi NAD dan Provinsi Sumatera Utara, meliputi wilayah-wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh Sinkil, Aceh Selatan, Gayo Lues dan Langkat. Empat kabupaten pertama termasuk wilayah administrasi NAD dan satu kabupaten terakhir adalah termasuk wilayah Sumatera Utara.
Taman nasional ini mengambil nama dari Gunung Leuser yang menjulang tinggi dengan ketinggian 3404 meter di atas permukaan laut. TNGL meliputi ekosistem alam dari pantai sampai pengunungan tinggi yang diliputi oleh hutan tropis. TNGL merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan pantai, dan hutan hujan tropika dataran rendah sampai pengunungan. Dengan ciri hampir seluruh kawasan ditutupi oleh lebatnya hutan dipterocarpaceae dengan beberapa sungai dan air terjun. Di dalamnya juga terdapat tumbuhan langka dan khas yaitu daun payung raksasa, bunga raflesia serta rhizanthes zippelnii yang merupakan varian bunga terbesar dengan diameter 1,5 meter. Selain itu juga terdapat tumbuhan yang unik yaitu ara atau tumbuhan pencekik. Demikian juga dengan satwa liar, langka dan dilindungi, antara lain mawas, orangutan, siamang, gajah, badak dan harimau Sumatera, kambing hutan, rangkong, rusa sambar dan kucing hutan.
Taman Nasional Gunung Leuser secara resmi ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai Cagar Alam Nasional 1980. UNESCO juga menetapkan taman nasional ini sebagai Cagar Biosfir. Berdasarkan kerjasama antara Indonesia - Malaysia, juga ditetapkan sebagai “Sister Park” dengan Taman Negara National Park di Malaysia. (http://dephut.go.id/informasi/tn%20indo-english/tn_leuser.htm akses /11/9/2007).


Dalam kontalasi tatanan dunia global sekarang ini, TNGL tidak saja menjadi milik dan kepentingan masyarakat lokal di Aceh, atau masyarakat Indonesia dalam skala nasional semata. Bahkan TNGL adalah milik masyarakat dunia. Hutan dengan segala isi hayatinya yang ada di TNGL adalah sangat penting bagi paru-paru bumi. Jadi, masyarakat dunia berkewajiban memelihara kelestarian hayati tersebut demi kelangsungan kehidupan di planet bumi.
Agama ramah Lingkungan
Islam sebagai agama paripurna, memiliki ajaran yang universal dan konprehensif. Islam sejak dirisalahkan oleh para utusan Tuhan telah memusatkan perhatian pada masalah lingkungan. Terlebih dalam misi yang disampaikan Nabi Muhammad SAW, baik melalui kitab al-Qur’an maupun hadits. Kedua referensi dasar Islam dimaksud secara intern memaparkan issu-issu lingkungan kepada umat manusia, antara lain disebutkan bahwa alam ini diciptakan atas sistem yang padu, utuh dan integratif (QS. al-Baqarah: 164). Kehidupan di bumi sebagai bagian dari keteraturan alam jagad raya dengan hukumnya yang ajeg. Untuk menjaga dan memelihara kelangsungan kehidupan (sustainable) di bumi dengan segala keanekaragaman (diversity) hayati, Tuhan menfasilitasi bumi ini dengan sirkulasi musim, hujan, gumpalan awan berarak dan angin secara apik (QS. al-Fathir: 9,27-28, Yasin: 33-34, Rum:48, Qaf:9). Semua itu hanyalah diperuntukkan bagi kenikmatan manusia di bumi. Namun harus diingat oleh manusia bahwa daya dukung alam juga ada batasnya. Karena itu manusia harus memperlakukan alam ini dengan baik dan benar. Hal ini menyangkut etika dengan lingkungan alam salah satunya. Bagaimana manusia membangun sikap proporsional ketika berhadapan dengan lingkungan. Sehingga lingkungan dapat terpelihara dan terjaga kelestariannya sepanjang generasi umat manusia.Akan tetapi realitas tidak seindah harapan. Tuhan tahu akan perangai manusia tersebut, karena itu manusia diingatkan. Manusia lupa bersyukur (berterima kasih) atas segala nikmat indahnya alam yang diciptakan Tuhan ini (QS. Luqman: 20). Manusia justru kurang bersahabat dengan alam dan lingkungannya. Perihal perilaku destruktif ini, telah diingatkan al-Qur’an maupun hadits nabi. Al-Qur’an menyebutkan bahwa kerusakan di alam (daratan dan lautan) akibat ulah kejahatan manusia. Sehingga berbagai akibat dari perusakan itu ditanggung, oleh manusia juga (QS. al-Baqarah: 205, al-Rum: 41, al-Qashshash: 77). Sementara Nabi juga mengingatkan umat manusia perihal menjaga lingkungan. Salah satu sabda beliau yaitu; “Diriwayatkan dari Mu`az, Rasulullah saw menegaskan, takutlah kalian tiga perbuatan yang dilaknat. Pertama buang air besar di jalan, kedua di sumber air dan ketiga di tempat berteduh (HR. Ibnu Majah). Bahkan di hadits yang lain ditambahkan, Rasulullah SAW juga melarang buang air besar di lubang binatang dan di bawah pohon yang berbuah. Apresiasi Nabi terhadap kelestarian lingkungan amatlah jelas. Sisi gelap manusia terhadap alam sebagaimana disinyalir Tuhan di atas, kiranya menyadarkan manusia akan kekhilafnya itu. Jangankan merusak lingkungan seperti menebang pohon, mengganggu atau mencemari alam sekitar saja tidak dibenarkan.
Kedua rujukan dasar Islam di atas sayogianya dapat dipahami substansinya bagi upaya melestarikan lingkungan hayati yang ada di sekitar kita. Membangun pemahaman terhadap nash agama berkenaan dengan pengungkapan tentang lingkungan dengan cara memihak dan memandang isu lingkungan sebagai suatu yang serius.
Manusia kontra agama
Ironisnya, manusia seakan tidak pernah merenung dan mengambil i`tibar (pelajaran), apalagi jera di balik kemarahan alam. Bencana alam datang menimpa silih berganti. Bencana alam telah benar-benar mengancam hidup manusia. Berbagai tanda-tanda keengganan alam untuk dieksploitir manusia kini akrab menimpa manusia. Eksploitasi hutan dan rimba tanpa mempertimbangkan kesinambungan ekosistemnya menyebabkan hutan kehilangan daya dukungnya bagi konservasi air dan tanah, dan banjir, longsor pun datang. Kerakusan manusia merambah hutan telah mengakibatkan korban jiwa manusia tidak berdosa tak terhitung. Perubahan iklim secara ekstrem tanpa bisa dipredikskan sebelumnya adalah dampak lain dari kerusakan lingkungan oleh ulah manusia. Klimaknya, pemanasan global sebagai efek dari ketidakpahaman manusia terhadap alam pun tak terhindarkan.
Eksploitasi hutan melalui pembalakan liar maupun legal yang dilakukan secara besar-besaran tanpa memperhatikan kelangsungan kehidupan generasi mendatang merupakan tindakan kriminal yang harus dicegah oleh negara dan masyarakat. Hutan lindung, hutan konservasi dan kawasan yang dilindungi lainnya harus diselamatkan mulai sekarang dari kepunahannya. Untuk itu semua pihak perlu memikirkan suatu upaya penyelamatan lingkungan hutan, tidak terkecuali kaum intelektual dan komunitas agama. Masing-masing mereka, sesuai dengan kapasitasnya, tentu memiliki pendekatan tersendiri untuk mengajak masyarakat menjaga kelestarian hutan.
Islam dan Fiqih Lingkungan
Dalam perspektif Islam, salah satu pendekaan yang dapat digunakan adalah dengan membangun paradigma fiqih lingkungan. Yaitu membangun suatu pemahaman yang komprehensif, utuh dan terpadu terhadap substansi ajaran Islam yang berbicara tentang pelestarian lingkungan hidup (Gunawan Adnan, Opini Serambi 29/9/07).
Melalui kerangka berpikir yang konstruktif terhadap ajaran agama ini diharapkan lahir suatu formula logis bagi upaya penyelamatan lingkungan. Bila selama ini wacana yang berkembang dalam kajian fiqih konvensional kurang menekankan aspek lingkungan yang lebih luas, maka melalui paradigma fiqih bisa memberi masukan yang universal.
Fiqih lingkungan adalah kerangka berfikir konstruktif umat Islam dalam memahami lingkungan alam, bumi tempat mereka hidup dan berkehidupan. Membangun pemahaman masyarakat tentang pentingnya memelihara konservasi air dan tanah dengan melindungi hutan dari eksploitasi, dari penebangan hutan dan pembalakan liar adalah termasuk kewajiban agamawan. Melindungi seluruh ekosistem hutan yang ada di dalamnya adalah bagian yang dianjurkan agama. Menjadikan semua upaya itu sebagai kewajiban moral terhadap sesama makhluk Tuhan yang bernilai ibadah.
Sebaliknya, mengabaikan lingkungan sama maknanya dengan melakukan tindakan tercela yang dilarang keras oleh agama. Pelakunya melanggar sunnatullah, mengingkari eksistensi kemakhlukan, kemanusiaan dan sekaligus melawan keharmonisan alam ciptaan Tuhan yang bersahaja ini.
Paradigma berfikir konstruktif dengan menjadikan ajaran agama sebagai landasannya inilah yang dimaksudkan dengan ‘paradigma fiqih lingkungan’, tentu dalam pengertiannya yang luas dan terbuka. Akhirnya, agama diharapkan memainkan perannya yang signifikan bagi upaya penyelamatan lingkungan. Sekali lagi, tentu melalui penafsiran yang lebih cerdas, arif dan terbuka bagi segenap interpretasi persoalan-persoalan baru dan aktual.
Dalam konteks pelestarian ekosistem lingkungan di Aceh, terutama Taman Nasional Gunung Leuser, semua pihak harus memahami fiqih lingkungan—dalam definisi luas. Dan tentu saja Qanun pelestarian lingkungan sangat mendesak disahkan, mengingat tindakan melawan hukum di hutan nyaris tidak terbendung lagi dengan perangkat hukum yang ada sekarang. Penyebaran polisi hutan ke kawasan konservasi alam, diyakini belum mampu menghentikan pembakalan liar, illegal logging dan tindakan perusakan hutan lainnya. Akhirnya, semua pihak harus kita ajak untuk mau mengatakan “Save Our Forest”, “Stop Illegal Logging”.
Lingkungan baru
Melalui desentralisasi dan otonomi daerah
badan-badan pemerintahan lokal berperan
utama dalam melindungi lingkungan dan
sumber daya alam di Indonesia. Sayangnya
badan-badan ini seringkali harus menghadapi
tantangan berat dalam menyesuaikan
diri untuk menjalankan kewenangan mereka
yang baru. Tantangan terbesar adalah
minimnya kemampuan pemerintah daerah
dalam menanggapi masalah lingkungan yang
perlu didukung. UNDP berkomitmen untuk
membantu memastikan agar proses desentralisasi
membantu masyarakat untuk tidak
saja menuntut hak tetapi juga menjalankan
kewajiban melindungi lingkungan hidup.
UNDP bermitra dengan KLH mendukung
Program Desentralisasi Pengelolaan Lingkungan
dan Sumber Daya Alam Indonesia
untuk memberi bantuan teknis dan arahan
dalam perumusan kebijakan peningkatan
kapasitas lokal dalam penyelenggaraan tata
pemerintahan yang baik. Dengan unsurunsur
dari pemerintah lokal, masyarakat
sipil, sektor swasta, perguruan tinggi dan
donor, proyek ini berusaha memastikan agar
pilihan Indonesia dalam hal lingkungan akan
melibatkan partisipasi publik yang sesungguhnya
dan berarti. Proyek juga mendukung
penganugerahan penghargaan nasional
untuk badan-badan pemerintah daerah yang
berhasil mewujudkan pembangunan ramah
lingkungan, dan memfasilitasi 150 kabupaten
dan kota untuk membangun daerah perkotaan
yang bersih dan hijau, serta mendukung
kegiatan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat
yang bekerja untuk mempromosikan
visi pembangunan berkelanjutan.
Keterlibatan dan relevansi
Tata pengelolaan lingkungan yang baik
menerapkan prinsip partisipasi, transparansi
dan akuntabilitas dalam pelaksanaan
kebijakan-kebijakan lingkungan. Untuk itu,
suatu kerangka konsep Tata Pengelolaan
Lingkungan yang baik telah diluncurkan
dalam pertemuan akhir Panita Persiapan KTT
Pembangunan Berkelanjutan tahun 2002 di
Bali. Kerangka itu kini menjadi kerangka kebijakan
bagi lembaga-lembaga pemerintah
daerah dalam upaya pencapaian sasaran
mereka, dan sebagai unsur inti dari strategi
nasional jangka panjang pada Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup.
Sejalan dengan ini IDEN membantu mengembangkan
alat-alat penilaian untuk menilai
kapasitas lingkungan setempat serta ancaman
yang dibawa desentralisasi. Salah satu
penilaian berkaitan dengan upaya pengambilan
keputusan tentang lingkungan yang
diarahkan oleh warga. Fokus khusus dalam
hal ini adalah adanya akses warga untuk
mendapatkan keadilan dalam permasalahan
lingkungan, termasuk penerapan dan
kepatuhan pada peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan lingkungan.
Dimensi-dimensi tata pengelolaan untuk
melindungi lingkungan hidup penting un-
Memacu kegiatan
Di bawah desentralisasi sebagian besar
wewenang perlindungan lingkungan berada
dalam yurisdiksi lokal. Dengan demikian,
diperlukan kegiatan-kegiatan besar untuk
membangun kapasitas kelembagaan demi
menjamin bahwa kebijakan lingkungan
maupun perencanaan dan kegiatan pemantauan
berjalan sesuai dengan UU Pengelolaan
Lingkungan Hidup 1997. Cara terbaik
adalah dengan menciptakan suatu lingkungan
hidup yang memungkinkan, dengan
insentif keuangan dan insentif politik, agar
standar-standar nasional dipenuhi.
Selain membangun kapasitas pemerintah
lokal untuk mengelola lingkungan, melalui
Program Desentralisasi Pengelolaan Lingkungan
dan Sumber Daya Alam Indonesia,
UNDP terlibat dalam upaya mengarusutamakan
masalah-masalah lingkungan ke
dalam agenda pembangunan pemerintah
daerah. Pengintegrasian yang lebih baik dari
masalah lingkungan ke dalam kebijakan
ekonomi sangat diperlukan untuk menjamin
pembangunan berkelanjutan, yang pada
gilirannya akan bermanfaat bagi kaum
miskin dan rentan dalam bentuk kondisi
lingkungan dan kesehatan yang lebih baik.
tuk upaya pelestarian. Juga penting untuk
mempertahankan tingkat kepedulian yang
tinggi terhadap lingkungan hidup agar
masalah ini tetap mendapat prioritas utama
dalam agenda politik dan sosial. IDEN juga
berkomitmen terhadap serangkaian kegiatan
advokasi lingkungan. Suatu kelompok penasehat
untuk pendidikan lingkungan hidup,
misalnya, telah dibentuk di Pusat Pendidikan
Lingkungan Hidup dan Komunikasi di Bogor.
Kelompok ini akan segera memulai kegiatan
membangun kapasitas di bidang pendidikan
lingkungan dan komunikasi.
Melalui bantuan teknis, peningkatan kapasitas
dan kegiatan advokasi, IDEN telah
mengembangkan berbagai kegiatan yang
bertujuan mengaitkan tata pengelolaan yang
lebih baik dengan standar lingkungan yang
lebih tinggi di Indonesia. Sementara masih
ada tantangan yang besar, IDEN dengan
UNDP dan Pemerintah Indonesia bekerjasama
untuk menciptakan perlindungan
yang lebih baik bagi lingkungan menghadapi
proses desentralisasi di Indonesia.
SEBAGAI negara dengan tingkat keanekaragaman budaya yang sangat luas, Indonesia berkepentingan terhadap Warisan Budaya Tak Benda (Intangible Cultural Heritage) di tingkat internasional. Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Intangible Cultural Heritage (ICH) melalui Peraturan Presiden No 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).

Di tingkat nasional, kepentingan melindungi WBTB tadi sungguh besar mengingat nilai-nilai budaya barat begitu memborgol masyarakat kita. Bicara soal perlindungan WBTB, demikian menurut Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Basuki Antariksa, tentu sangat tak menarik karena bicara perlindungan WBTB artinya bicara cost alias pengeluaran uang dan tak kecil, pula.

"Jika kebudayaan dinilai dari aspek ekonomi tentu potensi terbesar akan berasal dari Warisan Budaya Benda (Tangible Cultural Heritage) seperti candi atau benda purbakala lainnya. Banyak orang lupa, Intangible Heritage, dapat memberi kontribusi tak langsung yaitu membentuk mental bangsa," paparnya dalam "Simposium dan Workshop Mengenai Inventarisasi dalam Rangka Perlindungan WBTB" di Hotel Alila, Pecenongan, Jakpus, awal pekan lalu.

Basuki menambahkan, tugas pelestarian WBTB adalah tugas berat karena harus ditujukan untuk menjamin keberlangsungan dan perkembangannya secara mandiri melalui media pendidikan formal dan non-formal.
Sebagai informasi, UNESCO mendefinisikan WBTB sebagai "segala praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, ketrampilan - serta instrumen, obyek, artefak, dan lingkungan budaya yang terkait - yang oleh masyarakat, kelompok, dan dalam beberapa hal tertentu, perorangan yang diakui sebagai bagian dari warisan budaya mereka. Konvensi ICH menyatakan, WBTB diwujudkan antara lain dalam bidang tradisi dan ekspresi lisan termasuk bahasa; seni pertunjukan; adat istiadat, ritus, dan perayaan; pengetahuan dan kebiasaan perilaku; dan kemahiran kerajinan tradisional.

Sayangnya, dalam simposium yang seharusnya sangat lekat dengan bidang pendidikan, tak ada satupun wakil dari Departemen Pendidikan Nasional. Padahal, jelas-jelas disebutkan Basuki, upaya pelestarian WBTB tak bisa lepas dari proses pendidikan formal dan non-formal.
Sesungguhnyalah, persoalan warisan budaya baik benda dan tak benda adalah persoalan pendidikan. Bukan hanya membentuk karakter dan mental tapi juga untuk menginformasikan kepada masyarakat hingga ke pelosok bahwa apa yang selama ini mereka jalankan sebagai ritual, kebiasaan, cara pandang, kemampuan membuat kerajinan atau mencampur bumbu sehingga membentuk rasa yang unik adalah warisan yang harus dilestarikan.

Tidak ada komentar: